



Makassar — (CompleteNews.Id).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) tentang penjadwalan kembali pilkada serentak 2020, telah
disahkan oleh DPR menjadi undang undang pada tanggal 14 Juli yang lalu.
Awalnya oleh regulasi lama pemungutan suara pilkada dijadwalkan pada September 2020, namun sebagai respon atas pandemi OVID-19 kemudian diundur ke Desember 2020.
Sebelumnya pada tanggal 12 Juni, KPU bahkan telah memutuskan Peraturan KPU yang secara detail menetapkan seluruh tahapan pilkada, termasuk tahapan jadwal pelaksanaan pemungutan suara Pilakada di tanggal 9 Desember 2020.
Diterbitkannya kedua aturan ini menjadi starting point bergulirnya kembali berbagai aktivitas politik pilkada, genderang kontestasi politik tertabuh kembali.
Momentum untuk mewujudkan vox populi, vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) tidak lama lagi akan digelar. Respon cepat kemudian dilakukan oleh para calon kontestan.
Lobby-lobby oleh bakal calon terhadap partai-partai politik serta tokoh-tokoh berpengaruh berikut dinamikanya menjadi salah satu berita utama, di berbagai media mainstream.
Alat peraga mulai ramai ditemui di berbagai tempat, tentunya sebagai simbol keinginan untuk maju, sekaligus untuk mendongkrak popularitas.
Bahkan ada yang lebih proaktif dengan membentuk tim sukses lebih awal. Perhatian publik yang selama ini banyak
tertuju pada COVID-19, kini mendapatkan fokus baru, fokus hangat yang sempat mendingin sebelumnya yaitu momentum
pilkada.
Topik yang paling banyak didiskusikan oleh berbagai kalangan saat ini, walupun kadang-kadang spekulatif, adalah siapa di antara bakal calon yang akan berubah status menjadi calon tetap.
Hal ini berkait dengan threshold yang dipersyaratkan, yaitu minimal 20 % dari total jumlah kursi DPRD atau 25 % dari total suara sah pemilu sebelumnya untuk
usungan partai politik, atau dukungan terverifikasi dari 6,5% – 10% wajib pilih (tergantung besaran wajib pilih) untuk calon perseorangan.
Sistem pemilihan langsung memang menetapkan syarat ambang batas minimal, baik untuk parlemen (parliamentary threshold) maupun untuk pemilihan presiden (presidential threshold), serta untuk pilkada di tingkat provinsi maupun kabupaten serta kota.
Sudah sewajarnyalah jika setelah beberapa kali penyelenggaraan pilkada evaluasi berdatangan dari berbagai pihak, terutama menjelang penyelenggaraannya.
Oleh publik daftar pemilih seringkali disoal, netralitas penyelenggara dan aparatur juga seringkali dipermasalahkan, begitu pula halnya dengan politik uang yang seolah-olah sudah menjadi kebiasaan, serta berbagai hal terkait unfairness dalam berbagai aspek dan tahapan penyelenggaraan pilkada.
Jika semua sepakat bahwa
kualitas pilkada harus lebih baik dari waktu ke waktu, maka evaluasi terhadap berbagai aspek tersebut sangat penting adanya dalam rangka penyempurnaan kebijakan pelaksanaan.
Untuk hal ini pemerintah tidak diam, aturan penyelenggaraan pilkada telah beberapa kali dirubah, sebagian untuk merespon evaluasi yang masuk. Hasilnya cukup positif, indeks demokrasi Indonesia oleh The Economist Intelligence Unit di tahun 2020 menduduki peringkat ke 11 untuk negara – negara Asia Pasifik.
Paling tidak, pada tataran pelaksanaan, pilkada telah memberi ruang pada publik untuk menunaikan salah satu hak
konstitusional – demokrasi mereka, hak untuk memilih (the right to vote) pemimpin daerah.
Kembali pada masalah threshold yang sampai saat ini masih berlaku. Publik berasumsi bahwa persentase yang ditentukan masih bertentangan dengan prinsip dan nilai penting demokrasi lainnya, yaitu kesetaraan dalam politik
(political equality) dan kesetaraan dalam peluang (equality of opportunity).
Kesetaraan dalam konteks ini bukan hanya kesetaraan dalam memilih, tetapi juga kesetaraan politik dan kesetaraan peluang untuk dipilih.
Jika merujuk pada pendapat pendukung prinsip kesetaraan, maka segala hal yang merintangi kesetaraan tidak layak hadir di dalam negara demokrasi. Apakah itu artificial barrier diskriminatif (gender, agama, ras, suku, dan sebagainya) maupun yang berbentuk kebijakan.
Dengan kata lain 5 ambang batas sudah perlu dipertimbangkan untuk diturunkan. Menurunkan threshold berarti juga memberi pilihan yang lebih banyak pada pemilih, juga memberi peluang lebih besar pada putra – putri terbaik daerah untuk maju sebagai kontestan.
Bukankah demokratisasi juga terkait dengan semakin beragamnya pilihan, sebab keberagaman atau pluralitas adalah juga nilai penting demokrasi.
Di samping itu, penyesuaian threshold dianggap mampu meminimalisir berbagai praktek kurang baik dalam pilkada. Akan lahir pasangan – pasangan calon yang sepakat berpasangan karena memang memiliki visi pemerintahan yang sama, juga kecil kemungkinan pasangan calon teranulir disebabkan kegagalan memenuhi threshold, minim beban politik, dan mungkin juga berdampak pada efisiensi pendanaan.
Walaupun di sisi lain ada pandangan bahwa banyaknya calon berkorelasi dengan tingginya friksi politik. Namun pandangan ini kurang relevan di saat sekarang, mengingatmasyarakat faham bahwa perbedaan pilihan bukanlah
penyebab untuk berbeda dalam segala hal. Jika pun terjadi, friksi hanya akan terkonsentrasi di level elit, kecil sekali kemungkan untuk menjangkau akar rumput.
Harapan semua pihak adalah bahwa suatu saat akan terwujud pilkada yang lebih baik dalam menghasilkan pemimpin pemerintahan daerah. Pemimpin unit pemerintahan yang terdekat bahkan untuk beberapa hal bersentuhan langsung dengan rakyat, dan oleh karena itu sangat diharapkan dapat merasakan kebutuhan rakyat untuk kemudian diformulasi menjadi kebijakan dan program yang pro – rakyat.
Pemimpin daerah yang mampu mewujudkan visinya untuk kesejahteraan rakyatnya dan kemajuan daerahnya. Toh dalam konteks agregasi, akumulasi kemajuan semua daerah sama dengan kemajuan negara. (*)
Pinrang, Macorawalie
Sabtu, 18 Juli 2020, 16.34 WITA.
